Oleh : Ahmad Basri: Sarjana Ilmu Hubungan Internasional
Berakhirnya perang dingin di era dekade 89 an dengan ditandai oleh runtuhnya ideologi komunisme sosialisme di kawasan Eropa Timur serta bubarnya Uni Soviet menjadi negara bagian kini menjadi Rusia tidak serta merta membawa stabilitas bagi kawasan Asia Pasifik.
Kini China hadir sebagai kekuatan baru dalam pentas politik kawasan. China perlahan membangun kekuatan militernya dan kini menjadi faktor dominan yang mempengaruhi dinamika keamanan kawasan.
Walaupun banyak kalangan masih menilai kekuatan militer China saat ini sebatas pada middle power belum sampai pada tingkat global sebagaimana Uni Soviet di masa lalu.
Kebangkitan China pasca Perang Dingin tidak hanya bersifat ekonomi tetapi juga kekuatan persenjataan militer. Dalam dua dekade terakhir, China menggelontorkan anggaran pertahanan yang meningkat pesat hingga mencapai lebih dari 200 miliar dolar AS per tahun terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Modernisasi angkatan bersenjata, pengembangan rudal hipersonik, dan ekspansi maritim di Laut China Selatan (LCS) menjadi simbol kebangkitan kekuatan baru yang menimbulkan rasa was – was di negara – negara tetangga khususnya di kawasan Asia Pasifik.
Bagi Jepang, kebangkitan militer China merupakan ancaman langsung terhadap keamanan nasional. Untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II, Jepang naikkan anggaran pertahanannya hingga 2 – 3 persen dari PDB dan memperkuat kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat.
Langkah ini menunjukkan transformasi besar dalam orientasi politik luar negeri Jepang dari pasif menjadi lebih asertif tapi bukan agresif.
Korea Selatan, sementara ini menghadapi dilema strategis. Fokus utama tetap pada ancaman dari Korea Utara, namun kedekatan Beijing dengan Pyongyang serta aktivitas militer China di Laut China Selatan (LCS) membuat Korea Selatan memperluas jaringan kerjasama keamanan dengan AS dan Jepang.
Sikap ini menunjukkan perubahan persepsi bahwa China bukan lagi sekadar mitra ekonomi dagang tetapi juga potensi pengganggu stabilitas regional kawasan.
Taiwan merupakan negara yang paling merasakan tekanan langsung dari kebijakan militer China. Latihan militer besar – besaran, patroli udara, serta ancaman penyatuan paksa menjadi sinyal bahwa China siap menggunakan kekuatan bila cara damai gagal.
China tetap memandang bahwa Taiwan adalah bagian dari Beijing. Pemerintah Taiwan menanggapinya dengan memperkuat pertahanan asimetris dan memperdalam hubungan strategis dengan Amerika Serikat serta sekutu – sekutunya.
Filipina juga menghadapi dinamika serupa, terutama terkait sengketa wilayah di Laut China Selatan. Insiden antara kapal penjaga pantai Filipina dan China beberapa kali memicu ketegangan diplomatik yang jika tidak segera diselesaikan cepat aksi militer bisa terjadi di kedua belah pihak.
Vietnam, meski memiliki kedekatan ideologis dengan China, tetap memandang China dengan curiga. Sengketa wilayah di Kepulauan Paracel dan Spratly masih menjadi sumber gesekan yang potensial. Klaim kepulauan Paracel dan Spratly hingga kini masih belum ada titik temu.
Sedangkan negara-negara ASEAN lainnya, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Brunei, memilih jalur diplomasi dan non konfrontatif dengan China.
Indonesia, melalui prinsip politik luar negeri bebas aktif, berupaya menjadi penyeimbang di tengah rivalitas kekuatan besar.
Meski tidak memiliki sengketa langsung dengan China, Indonesia memperkuat kehadiran militer di Natuna Utara dan mendorong percepatan Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan sebagai mekanisme penyelesaian damai.
Dilema yang dihadapi negara – negara Asia Pasifik pasca Perang Dingin adalah paradoks antara ketergantungan ekonomi terhadap China dalam perdagangan dan kekhawatiran atas kekuatan militer China yang terus melakukan modernisasi peralatan perang.
China kini menjadi mitra dagang utama bagi hampir seluruh negara di kawasan, sekaligus aktor yang sering menimbulkan ketegangan maritim.
Situasi ini menciptakan strategi hedging, di mana negara – negara berupaya menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan keamanan namun tetap menjaga hubungan ekonomi dengan China tetap berjalan.
Indonesia misalnya tetap menjalin kerja sama ekonomi dengan China, namun juga mempererat hubungan pertahanan dengan AS dan Australia dalam kerangka Indo – Pasifik.
Australia bahkan berencana memiliki kapal selam bertenaga nuklir, ini menandakan perubahan signifikan dalam strategi pertahanan. Sementara itu, AS terus memperluas kehadiran militernya di Asia – Pasifik sebagai bagian dari strategi containment terhadap China.
Penutup.
Pasca Perang Dingin, persepsi negara-negara Asia – Pasifik terhadap China telah bergeser dari sekadar kekuatan ekonomi baru menjadi kekuatan militer yang menantang tatanan regional kawasan.
Modernisasi kekuatan militer China dan ekspansi pengaruhnya di kawasan Asia – Pasifik telah menimbulkan rasa tidak aman kolektif di antara negara – negara tetangganya.
Tantangan terbesar bagi Asia Pasifik hari ini adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kerja sama ekonomi dan stabilitas keamanan dengan China.
Seperti dikatakan oleh diplomat legendaris Mochtar Kusumaatmadja bahwa diplomasi adalah seni menjaga kepentingan di tengah kekuatan yang berhadapan.
Dalam dinamika Asia – asifik pasca Perang Dingin, nasihat itu tidak pernah kehilangan relevansinya dan tetap menyala.
(Judul tulisan diatas adalah skripsi penulis )
Editor : Aan












