Meniti Pusaka Leluhur: Pesan Damai dari Para Sultan

- Jurnalis

Sabtu, 4 Oktober 2025 - 19:30 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh :Agus Budi Rachmanto

Pengamat Sosial Budaya dan Sekretaris Umum DPD PUTRI DIY

Menjelang peringatan boyongan kedaton  makam para Sultan Yogyakarta kembali ramai diziarahi. Dari Sri Sultan Hamengku Buwono I hingga Sultan Hamengku Buwono IX, jejak kepemimpinan mereka seolah hadir kembali dalam ingatan kolektif masyarakat. Ziarah ini tidak hanya menjadi tradisi, melainkan ruang refleksi yang menyuarakan pesan damai dan meneguhkan demokrasi tanpa kekerasan.

ADVERTISEMENT

iklan

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ziarah sebagai Ruang Ingatan Kolektif

Di bawah rindang pepohonan makam para Sultan, masyarakat menundukkan kepala dalam hening. Kehadiran mereka adalah bentuk penghormatan sekaligus kontemplasi: bahwa kepemimpinan bukan sekadar soal politik, melainkan soal merawat keseimbangan hidup. Dalam perspektif ini ziarah dapat dipahami sebagai praktik ingatan kolektif. Makam tidak dipandang sebagai batas kematian, melainkan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, sekaligus membuka jalan bagi masa depan.

Sri Sultan Hamengku Buwono I dikenang sebagai pendiri Kesultanan Yogyakarta yang mewariskan nilai ketertiban dan tata negara. Hamengku Buwono III dengan kebijakan welas asihnya, Hamengku Buwono VII yang mendorong modernisasi, hingga Hamengku Buwono IX yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan, semuanya menyampaikan pesan yang sama: kepemimpinan adalah pengabdian, bukan dominasi.

Baca Juga :  Kepastian Hukum SGC: Sebuah Ujian Keadilan dan Integritas

Boyongan Kedaton: Simbol Keterhubungan

Tradisi boyongan kedaton, yang digelar untuk memperingati perpindahan pusat pemerintahan ke Keraton Yogyakarta, sarat dengan makna simbolis. Ia bukan hanya peristiwa sejarah, melainkan juga simbol keterhubungan antara kerajaan dan rakyat, antara leluhur dan generasi penerus. Dalam perspektif Jawa, semua peristiwa ini tidak dibaca secara terpisah, melainkan dalam kesatuan kosmos: manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Ziarah yang mengiringi peringatan boyongan kedaton menjadi momen untuk kembali merenungkan nilai-nilai itu. Nilai damai, nilai welas asih, dan nilai  nguwongke uwong— memanusiakan manusia — yang diwariskan para Sultan, kini kembali dipanggil untuk menghadapi tantangan zaman modern.

Pesan Damai yang Melampaui Waktu

Dalam suasana hening ziarah, pesan damai para Sultan terasa melintasi sekat waktu. Sultan Agung mengajarkan kedaulatan yang berakar pada kebudayaan, Hamengku Buwono I meneguhkan kearifan tata negara, dan Hamengku Buwono IX mencontohkan kepemimpinan egaliter yang tidak segan hidup bersahaja bersama rakyatnya. Semua itu menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa welas asih hanyalah kekosongan.

Baca Juga :  Gibran Bantah Penugasan Khusus Papua, Tapi Akui Keterlibatan Aktif: Strategi Baru Pemerintahan Prabowo?

Tradisi ziarah ini meneguhkan pandangan non-dualistik: tidak ada pertentangan tajam antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan modernitas. Keduanya menyatu dalam dialektika yang saling menghidupi. Warisan para Sultan bukan untuk diulang secara literal, melainkan untuk dipahami esensinya: membangun perdamaian tanpa kekerasan, menegakkan demokrasi yang berakar pada martabat manusia.

Merawat Demokrasi, Menjaga Kedamaian

Peringatan boyongan kedaton tahun ini memberi pesan yang kuat: bahwa demokrasi sejati lahir bukan dari perebutan kekuasaan, melainkan dari *kesadaran untuk saling menghormati dan merawat kehidupan* bersama. Pesan inilah yang menjadikan ziarah ke makam para Sultan bukan sekadar ritual, melainkan ruang refleksi moral dan spiritual.

Dengan meniti pusaka leluhur, masyarakat diajak untuk kembali menghidupkan nilai-nilai damai dalam kehidupan sehari-hari. Karena pada akhirnya, pusaka sejati bukanlah keris atau mahkota, melainkan kesadaran welas asih dan kebijaksanaan yang diwariskan lintas generasi.

Loading

Editor : Aan

Follow WhatsApp Channel tarakanindonesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Persepsi Negara – Negara di Kawasan Asia Pasifik Terhadap Ancaman Militer China Pasca Perang Dingin ___
7 Fakta Menarik tentang Jogja Cultural Wellness Festival 2025 yang Bakal Bikin Kamu Penasaran!
Sadar Risiko, Siap Layanan: Sosialisasi Standar Usaha Jasa Pariwisata Risiko Menengah Tinggi di Pantai Glagah
Dimas Diajeng Jogja 2025: Ide Segar untuk Pariwisata Masa Depan!
Dari Jalan ke Demokrasi: Warga Prancis Menciptakan Ruang Baru
Suhunan Riah: Representasi Ecofeminisme dalam Simbol Urban
Ide Jenius Peserta Rakornas BAZNAS Ternak Ayam Persilangan Ubah Nasib Desa
Bupati Kolaka Timur Dicokok KPK Usai Rakernas NasDem Terkait Kasus DAK Rumah Sakit

Berita Terkait

Rabu, 22 Oktober 2025 - 05:26 WIB

Persepsi Negara – Negara di Kawasan Asia Pasifik Terhadap Ancaman Militer China Pasca Perang Dingin ___

Kamis, 16 Oktober 2025 - 17:45 WIB

Sadar Risiko, Siap Layanan: Sosialisasi Standar Usaha Jasa Pariwisata Risiko Menengah Tinggi di Pantai Glagah

Sabtu, 4 Oktober 2025 - 19:30 WIB

Meniti Pusaka Leluhur: Pesan Damai dari Para Sultan

Kamis, 25 September 2025 - 13:20 WIB

Dimas Diajeng Jogja 2025: Ide Segar untuk Pariwisata Masa Depan!

Senin, 15 September 2025 - 19:17 WIB

Dari Jalan ke Demokrasi: Warga Prancis Menciptakan Ruang Baru

Berita Terbaru