
Aktif di KAHMI dan pegiat diskusi Hukum-Ekonomi.fhoto Ist/Aan/TI)
Penulis: Zuli Hendriyanto Syahrin
Saat ini saya mengulas masalah hukum yang cukup heboh, yaitu kasus hukum yang melibatkan Sugar Group Companies (SGC) sebuah perusahaan nasional yang beroperasi di Lampung. Ini bukan sekedar kasus biasa. Ini seperti cermin untuk Negara kita, seberapa kuat menghadapi tantangan besar dalam menegakkan keadilan.
Sebagai bagian dari Masyarakat Lampung yang memandang dengan objektif dan solutif. Menurut saya, penanganan masalah hukum ini harusnya lebih tegas dan berani, tetapi tetap bijaksana. Mengapa? Agar iklim usaha tetap kondusif, dan hak-hak hukum semua pihak juga terlindungi. Intinya, kita mau keadilan untuk semua.
Kejaksaan Agung (Kejagung), dengan bukti-bukti yang sudah terverifikasi, menduga ada pelanggaran hukum yang bisa merugikan negara dan mencederai rasa keadilan. Sistem hukum dan ekonomi kita lagi diuji. Jadi, penegakan hukum wajib tampil tanpa kompromi, transparan, dan adil. Ini penting sekali untuk menunjukkan kekuatan Negara kita sebagai Negara Hukum, sesuai UUD 1945 Pasal 1 ayat (3).
Kejaksaan Agung memiliki dasar hukum yang kuat dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, yaitu UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya Pasal 30 tentang tugas dan wewenang di bidang pidana, serta UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
*Mengungkap TPPU Zarof Ricar: Adakah ‘Mafia Peradilan’ Main?*
Terkait kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang melibatkan Zarof Ricar, mantan pejabat MA, ini benar-benar mencurigakan. Ini seperti sinyal kuat adanya “mafia peradilan” yang terstruktur, yang bisa merusak kepercayaan publik pada keadilan. Kasus ini wajib dituntaskan sampai selesai, sesuai UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Dugaan adanya “mafia peradilan” juga dapat dikaitkan dengan pelanggaran terhadap UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menekankan prinsip independensi dan imparsialitas hakim.
Yang menjadikan makin panas, Kejagung sudah memeriksa Purwanti Lee (SGC) dan Gunawan Yusuf (Direktur Utama PT Sweet Indo Lampung (SIL) sebagai saksi pada 23-24 April 2025. Bahkan, 18 Juli 2025, keduanya juga sudah dilarang bepergian ke luar negeri oleh Kejagung. Ini berarti aparat penegak hukum bertindak serius. Tindakan pencegahan bepergian ke luar negeri ini diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, khususnya Pasal 97, yang memberikan wewenang kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan.
*Langkah-Langkah Mendesak Perlu Dilakukan:*
1. Kejagung harus segera menganalisis semua bukti dan hasil pemeriksaan saksi. Cukup tidak bukti ini untuk menaikkan status Purwanti Lee dan Gunawan Yusuf menjadi tersangka? Ini harus berdasarkan analisis transaksi keuangan dari PPATK dan bukti komunikasi digital yang sudah diverifikasi forensik, sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 184 KUHAP secara jelas mengatur alat bukti yang sah dalam hukum pidana. Analisis PPATK didasarkan pada UU TPPU dan UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
2. Audit forensik menyeluruh pada SGC itu penting sekali. Prinsip corporate criminal liability harus diterapkan tegas pada individu dan korporasi yang terlibat. Konsep corporate criminal liability diatur dalam berbagai undang-undang di Indonesia, seperti UU TPPU, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.
3. Jangan lupa, SGC juga harus diberi kesempatan penuh untuk menjelaskan dan membela diri. Agar prosesnya adil. Ini adalah bagian dari prinsip hak untuk didengar (audi alteram partem) dan prinsip peradilan yang adil (due process of law) yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) dan KUHAP.
*Pengakuan Zarof Ricar yang Mengejutkan*
Ada lagi yang mengejutkan. Zarof Ricar mengaku di persidangan tanggal 7 Mei 2025 bahwa dia menerima total Rp70 miliar dari SGC (Rp50 miliar untuk kasasi dan Rp20 miliar untuk PK). Pengakuan ini sudah direkam resmi. Ada juga bukti pendukung lain seperti laporan audit forensik, bukti komunikasi elektronik yang divalidasi BSSN, serta kesaksian notaris, cukup komplit.
*Tindakan Strategis Berdasarkan Pengakuan Ini:*
1. Kejagung perlu mengembangkan penyidikan berdasarkan pengakuan ini, pakai forensic intelligence (analisis data besar, pola transaksi, intelijen keuangan) untuk mengorek semua jaringan yang terlibat. Ini sejalan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang terstruktur dan terorganisir.
2. Mahkamah Agung perlu membentuk Tim Audit Khusus Independen untuk meninjau ulang putusan yang mungkin tercemar. Hal ini untuk menjaga integritas peradilan dan sesuai dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim serta UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. Program Justice Collaborator dan perlindungan saksi juga harus dioptimalkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal ini diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2014.
4. Penting juga untuk memberi ruang untuk pihak SGC untuk menguji validitas pengakuan Zarof Ricar, agar keadilan substantifnya benar-benar terasa. Ini merupakan bagian dari hak pembelaan yang dijamin oleh KUHAP.
*Penyitaan Aset dan Pemulihan Kerugian Negara*
Ini dia yang menyebabkan keprihatinan. Kejagung sudah sita uang tunai sekitar Rp915 miliar hingga hampir Rp1 triliun di rumah Zarof Ricar, dan ini sudah divalidasi PPATK. Berbagai aset lain juga diblokir: 5 bidang tanah dan bangunan mewah di Pondok Indah (sekitar Rp450 Miliar); 3 mobil mewah (Rolls-Royce, Lamborghini, Ferrari) senilai Rp300 Miliar; rekening bank (saldo terblokir Rp150 Miliar); serta saham di setidaknya 2 perusahaan publik (nilai Rp50 Miliar). Fantastis. Tindakan ini sesuai prinsip asset recovery dalam UU TPPU dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyitaan aset juga diatur dalam KUHAP, khususnya Pasal 38 sampai dengan Pasal 46.
*Rekomendasi untuk Pemulihan Aset:*
1. Perlu sekali ada penguatan Satuan Tugas Nasional Pemulihan Aset dengan mandat yang jelas, didukung teknologi canggih (big data analytics, AI, blockchain forensics) dan sumber daya yang memadai. Koordinasi antarlembaga (Kejagung, KPK, PPATK, DJKN, OJK, BEI) juga harus diperkuat. Hal ini sejalan dengan semangat INPRES Nomor 7 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang mendorong sinergi antarlembaga.
2. Mendesak pengesahan UU Perampasan Aset yang progresif untuk mempercepat pengembalian kerugian negara. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset ini sangat krusial untuk mengisi kekosongan hukum dalam pemulihan aset tanpa perlu pembuktian pidana terlebih dahulu.
3. Membentuk Dana Perwalian (Trust Fund) yang transparan untuk menampung hasil sitaan, diawasi tim independen. Pengelolaan hasil kejahatan dan aset yang disita dapat diatur lebih lanjut dalam peraturan turunan dari UU TPPU atau RUU Perampasan Aset.
4. Meningkatkan kerja sama internasional untuk pelacakan dan repatriasi aset lintas negara. Hal ini didasarkan pada prinsip mutual legal assistance (MLA) yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
5. Pastikan penyitaan aset sesuai prosedur hukum agar tidak ada gugatan balik. Kepatuhan terhadap KUHAP dan peraturan perundang-undangan terkait sangat penting untuk mencegah gugatan praperadilan atau gugatan lain yang dapat menghambat proses pemulihan aset.
*Penggeledahan dan Desakan Masyarakat*
Penggeledahan di rumah Purwanti Lee (Jakarta Selatan, akhir Mei 2025) adalah tindak lanjut penyidikan. Dan yang menjadikan semangat, ada desakan kuat dari masyarakat sipil yang menuntut tindakan lebih lanjut dari Kejagung dan KPK. Penggeledahan ini sah secara hukum apabila didasarkan pada surat perintah penggeledahan dari penyidik dan penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri, sesuai KUHAP Pasal 33.
*Respons yang Diperlukan:*
1. Kejagung dan KPK perlu transparan dengan memberikan informasi berkala kepada publik, sesuai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
2. Dorong partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan dan berikan edukasi hukum yang luas. Partisipasi masyarakat dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28F tentang hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
3. Jamin perlindungan hukum bagi aktivis, whistleblower, dan jurnalis yang mengungkap fakta, serta batasi pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang bisa mengkriminalisasi. Perlindungan whistleblower dan pelapor diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Revisi UU ITE, khususnya terkait pasal-pasal pencemaran nama baik, telah menjadi perhatian untuk menghindari kriminalisasi berlebihan.
4. Masyarakat perlu bijak menyikapi informasi, tunggu putusan hukum yang final, dan hindari trial by public. Media massa juga harus menyajikan informasi yang berimbang. Hal ini sejalan dengan Kode Etik Jurnalistik dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengamanatkan pers nasional untuk memberitakan secara berimbang dan menghormati asas praduga tak bersalah.
*Keadilan dalam Kasus SGC: Melindungi Hak dan Ekonomi*
Meski investigasi dugaan kasus SGC ini penting, setiap pihak, termasuk Purwanti Lee dan Gunawan Yusuf, punya hak atas prinsip praduga tak bersalah (KUHAP Pasal 8) dan proses hukum yang adil. Ini fundamental.
Poin Penting Perlindungan Hak:
1. Semua informasi masih dugaan. Penting sekali untuk membuktikan secara pasti apabila dana itu berasal dari SGC dan terkait tindak pidana, serta menyingkirkan kemungkinan penjelasan sah lainnya. Ini adalah bagian dari beban pembuktian yang ada pada penuntut umum.
2. Penanganan kasus yang berlarut-larut bisa berdampak besar pada ekonomi dan ribuan pekerjaan. Proses hukum harus mempertimbangkan mitigasi dampak ini. Meskipun demikian, penegakan hukum tidak boleh dikorbankan demi pertimbangan ekonomi, namun harus dilakukan secara efektif dan efisien.
3. SGC dan para petingginya berhak mengajukan banding atau PK jika ditetapkan sebagai tersangka atau terpidana. Pemberitaan juga harus berimbang, ingat hak rehabilitasi nama baik jika tidak terbukti. Hak-hak ini diatur dalam KUHAP dan merupakan bagian dari prinsip negara hukum.
*Komitmen Pemerintah: Pengawasan dan Penegakan Hukum yang Kuat*
Pemerintah harus memastikan iklim usaha bersih dan berintegritas. Berbagai lembaga Pemerintah berperan penting dalam memastikan bisnis di Indonesia patuh hukum, baik BUMN maupun Perusahaan Swasta. Ini sejalan dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengatur prinsip Good Corporate Governance (GCG).
*Langkah Proaktif Pemerintah:*
1. Pemerintah harus memperkuat Tata Kelola Perusahaan (GCG) dan sistem anti-korupsi di seluruh entitas bisnis, termasuk kewajiban penerapan standar internasional seperti ISO 37001 (Sistem Manajemen Anti Penyuapan) bagi korporasi besar. Hal ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
2. Berikan edukasi dan advokasi integritas bisnis secara komprehensif, tidak cuma untuk korporasi besar tetapi juga UMKM.
3. Membangun koordinasi lintas sektor yang kuat antarlembaga penegak hukum dan regulator untuk pencegahan dan penegakan hukum yang lebih efektif. Ini sesuai dengan prinsip sistem peradilan pidana terpadu.
4. Mendorong digitalisasi sistem pelaporan dan pengawasan, untuk meminimalkan interaksi tatap muka yang berpotensi menimbulkan praktik korupsi dan kolusi, serta meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas. Ini dapat mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan PP Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
*Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dalam Penegakan Hukum*
Di bawah Kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto, komitmen terhadap supremasi hukum dan pemberantasan korupsi diharapkan semakin kuat. Visi beliau yang menekankan pada stabilitas, kepastian hukum, dan Pemerintahan yang bersih menjadi landasan penting dalam menangani kasus-kasus besar seperti SGC. Bapak Presiden Prabowo diharapkan akan memberikan dukungan penuh kepada aparat penegak hukum untuk bekerja secara profesional, independen, dan tanpa intervensi, memastikan bahwa keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.
Arah kebijakan Beliau juga diharapkan akan memperkuat sinergi antara lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, KPK, dan POLRI, serta PPATK dan OJK, untuk menciptakan sistem yang lebih kokoh dalam mencegah dan menindak praktik korupsi dan pencucian uang. Ini juga sejalan dengan upaya Pemerintah untuk meningkatkan iklim investasi yang sehat dan adil, di mana para pelaku usaha dapat beroperasi dengan kepastian hukum dan terhindar dari praktik-praktik ilegal.
*Peran Penting Pemerintah Daerah Provinsi Lampung*
Mengingat SGC beroperasi signifikan di Lampung, Pemerintah Daerah Provinsi Lampung punya peran krusial untuk mengawal kasus ini dan memastikan dampak positif bagi masyarakat lokal, sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
*Prioritas untuk Pemda Lampung:*
1. Membentuk Tim Koordinasi Daerah Khusus Kasus SGC (multisektoral) untuk memantau dampak ekonomi, sosial, lingkungan, dan mitigasi risiko.
2. Inventarisasi dan amankan aset daerah yang terkait SGC, berkoordinasi dengan Kejagung dan DJKN. Ini dapat diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
3. Perkuat pengawasan perizinan (izin usaha, HGU, AMDAL) dan kepatuhan lingkungan, dengan sanksi tegas jika ada pelanggaran. Ini diatur dalam berbagai undang-undang sektoral seperti UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
4. Jika terjadi perubahan kepemilikan SGC, siapkan program pemberdayaan masyarakat dan petani lokal yang terencana, untuk memastikan keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan mereka. Hal ini dapat didasarkan pada UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
5. Dorong transparansi anggaran dan pemanfaatan dana asset recovery dari kasus ini untuk pembangunan Lampung, dengan pengawasan aktif masyarakat. Ini sejalan dengan prinsip akuntabilitas publik.
*Kesimpulan*
Kasus hukum SGC ini adalah ujian berat untuk keadilan dan integritas Indonesia. Penegakan hukum harus transparan dan tanpa pandang bulu, tetapi tetap berimbang dan menghormati hak hukum semua pihak, demi mewujudkan negara yang adil.
Kejagung, KPK, Mahkamah Agung, dan Pemerintah Daerah Provinsi Lampung perlu bersinergi optimal untuk menyelesaikan kasus ini. Pengakuan Zarof Ricar, penyitaan aset besar, dan desakan publik adalah modal penting. Pemulihan aset dan kerja sama internasional harus segera dilakukan untuk mengembalikan hasil kejahatan kepada negara, diiringi proses pembuktian yang kuat dan adil.
Dengan komitmen kuat dari Kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi, kasus SGC ini adalah kesempatan emas bagi Indonesia untuk menunjukkan keseriusan dalam memberantas korupsi dan menegakkan keadilan, demi masa depan bangsa yang bersih dan sejahtera, tanpa mengorbankan prinsip due process of law dan hak asasi. Mari kita dukung bersama dengan pemikiran konstruktif untuk Indonesia yang berkeadilan.
Zuli Hendriyanto Syahrin,
Aktif di KAHMI dan pegiat diskusi Hukum-Ekonomi.
Jakarta, 26 Juli 2025
Editor : Aan