Solo, Tarakan Indonesia.Com. Presiden Joko Widodo secara mengejutkan membatalkan niatnya untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Pengumuman ini disampaikan langsung oleh putra sulungnya, Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI yang sedang menjabat, dalam sebuah kampanye terbuka di Cipedak, Jakarta Selatan, Selasa (15/7/2025). Kaesang mengungkapkan alasan di balik keputusan sang ayah yang cukup mengejutkan: Jokowi merasa “agak insecure”, tidak nyaman bersaing dengan putranya sendiri dalam bursa pemilihan ketua umum. Selasa, (15/7)
“Bapak awalnya memang berniat maju, bahkan sudah mempertimbangkannya dengan serius,” ungkap Kaesang di hadapan kader PSI dan masyarakat. “Namun, setelah mengetahui saya juga mencalonkan diri, beliau berubah pikiran. Beliau mengatakan merasa tidak enak bersaing dengan anaknya sendiri.”
Pernyataan Kaesang ini memberikan konteks baru pada pernyataan Jokowi sebelumnya pada akhir Juni, yang hanya menyatakan dukungannya terhadap kepemimpinan anak muda. Saat itu, Jokowi menyatakan, “Yang muda-muda, saya kira lebih baik yang muda-muda saja,” tanpa menjelaskan lebih detail alasan di balik keputusannya.
Kehadiran Jokowi dalam beberapa acara internal PSI sebelum pemilu raya partai tersebut telah memicu spekulasi publik mengenai kemungkinan pencalonannya. Keputusan Jokowi untuk mundur kini diinterpretasikan oleh banyak pengamat sebagai bentuk dukungan penuh terhadap Kaesang dan komitmen nyata terhadap regenerasi kepemimpinan di PSI. Hal ini sejalan dengan visi PSI yang menekankan kepemimpinan anak muda sebagai identitas utama partai.
Pemilihan Ketua Umum PSI yang akan berlangsung secara terbuka pada akhir Juli 2025 kini semakin menarik perhatian. Dengan mundurnya Jokowi, jalan Kaesang untuk mempertahankan posisinya sebagai Ketua Umum PSI tampaknya semakin terbuka lebar. Namun, pernyataan Kaesang juga menimbulkan pertanyaan tentang dinamika internal PSI dan bagaimana keputusan ini akan mempengaruhi strategi dan arah politik partai ke depan. Apakah keputusan Jokowi ini murni didasarkan pada rasa “insecure” atau ada pertimbangan politik lain yang lebih kompleks? Pertanyaan ini masih menjadi bahan spekulasi dan diskusi publik.
Editor : Syam