Oleh Ahmad Basri: | Kamis | 19,6,2025 | Pikul. 14.04.Wib.
Sarjana Ilmu Hubungan Internasional
Perang selalu menyisakan duka mendalam, baik kehancuran infrastruktur, korban jiwa yang tak terhitung serta trauma kolektif yang diwariskan lintas generasi. Dalam sejarah peradaban, perang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika politik internasional, baik sebagai instrumen mempertahankan kedaulatan maupun sebagai alat ekspansi kekuasaan.
Namun, apa sesungguhnya yang diperebutkan dalam sebuah perang? Pertanyaan ini mengandung banyak tafsir. Di satu sisi perang bisa lahir dari motif menjaga kepentingan nasional. Di sisi lain bisa juga berakar pada ideologi, agama, atau konflik sumber daya. Tak heran jika para pemikir hubungan internasional mendefinisikan perang dari berbagai perspektif.
Menurut Hedley Bull, perang adalah “penggunaan kekuatan bersenjata antara dua atau lebih entitas politik yang bersaing, yang masing-masing mengklaim kedaulatan.” Sementara Barry Buzan mengingatkan bahwa perang tak hanya bersifat militer, tetapi bisa pula hadir dalam bentuk ekonomi, ideologis, hingga ekologis, tergantung bagaimana sebuah negara memandang ancaman.
Konflik yang kini menyala di kawasan Timur Tengah adalah wujud nyata dari kompleksitas geopolitik kontemporer. Perang Iran–Israel yang semakin terbuka memperlihatkan bagaimana aktor-aktor politik global masuk dalam pusaran konflik yang rentan meluas menjadi perang global. Amerika Serikat, seperti telah menjadi pola tetap dan kembali mengambil posisi sebagai “watchdog” bagi Israel.
Bagi Washington, Israel adalah mitra strategis yang tak tergantikan di kawasan Timur Tengah bahkan sering disebut sebagai “anak emas” yang harus dilindungi dari segala bentuk ancaman, dan tak peduli seberapa brutal kebijakan militer Israel terhadap Palestina dan negara sekitarnya. Apapun perilaku Israel di tanah Palestina selalu mendapatkan pembenaran dan dukungan.
Di tengah dominasi AS-Israel di kawasan Timur Tengah, Iran tampil sebagai satu-satunya negara yang berani mengangkat suara secara tegas. Bagi Iran dominasi tersebut adalah sumber instabilitas yang melahirkan kekacauan jangka panjang di Timur Tengah. Berbeda dengan negara-negara Arab lainnya yang cenderung menempuh jalur diplomasi lunak atau kompromistis, sedangkan Iran justru memilih pendekatan konfrontatif militeristik kekuatan senjata.
Serangan rudal Iran ke wilayah Israel dalam beberapa waktu lalu bukan semata-mata reaksi atas agresi Israel, tetapi juga pesan strategis bahwa Iran bukan sekadar negara pinggiran, tetapi kekuatan regional dengan kemampuan militer yang harus diperhitungkan. Iran ingin memperlihatkan kepada masyarakat internasional bahwa Iran sanggup menembus lapis pertahanan Iron Dome, dan bahkan menantang hegemoni militer Israel yang selama ini tampak tak tergoyahkan.
Banyak analis memperkirakan bahwa keterlibatan militer langsung AS dalam perang Iran-Israel akan menjadi titik kritis yang dapat menyeret kekuatan besar dunia ke dalam konflik terbuka. Rusia dan Tiongkok yang selama ini memiliki hubungan strategis dengan Iran, bisa saja masuk dalam ruang konflik sebagai penyeimbang dominasi Barat AS. Sementara negara-negara Arab Teluk akan terpecah antara loyalitas kepada AS atau berpihak kepada Iran.
Jika skenario ini terjadi maka kemungkinan pecahnya Perang Dunia Ketiga bukan lagi sebatas wacana spekulatif. Skala konflik di kawasan Timur Tengah bisa melebar ke kawasan lainnya, Laut Tengah bahkan ke Asia Pasifik. Dunia akan kembali memasuki fase polarisasi ideologi politik yang tajam hal ini mirip dengan situasi menjelang Perang Dunia II. Bedanya hanya kali ini dengan kekuatan senjata nuklir dan serangan siber di tangan para aktor. Perang teknologi akan mendominasi.
Ironisnya tragedi besar ini tumbuh dari ketidakmampuan komunitas internasional dalam menyelesaikan akar masalah utama yakni penjajahan atas Palestina, ketimpangan kekuasaan global, dan kegagalan sistem internasional membendung agresi Israel . Ketika hukum internasional diabaikan dan solidaritas manusia dikalahkan oleh kepentingan nasional sempit maka perang menjadi keniscayaan yang tak mungkin dihindarkan.
Dunia kini berada di ambang pilihan yakni membiarkan konflik membesar dan menyeret umat manusia ke dalam jurang perang global atau menegakkan kembali prinsip-prinsip keadilan dan perdamaian internasional. Waktunya semakin sempit bara api di Timur Tengah kini bukan lagi sekadar konflik regional tetapi potensi ledakan perang global yang bisa menghancurkan peradaban manusia. Perang dunia ketiga sudah didepan mata.
Penulis : Ahmad Basri
Editor : Aan